Minggu, 24 Mei 2015

Ketika Teman Sebayamu Banyak yang Sudah Menikah dan Kamu Masih Jomblo, Rasanya Tuh. . .

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang teman dari negara sebelah nge-chat aku, tumben banget sih ya. Dia nge-chat malah kayak orang wawancara. Gak tau ada angin apa, pertanyaan dia berkisar mengenai karir dan pernikahan. Sebenarnya dia laki-laki sih, sebelumnya juga gak kenal banget, tapi kebetulan kita seumuran, jadi deh ngobrol ngalor-ngidul yang intinya dia berniat gak akan menikah sebelum tujuan dia tercapai (karir). Okelah, fine. Itu hidup dia. apalagi laki-laki kan bebas, bisa nikah umur berapapun.

Hemm. .  sebenarnya usiaku baru 20 tahun, tapi teman-teman sebayaku sudah banyak yang menikah. Pernah sih ditanya mau nikah kapan? cepetan nyusul yah! kamu udah siap nikah belum? aku kenalin sama si A gimana? Eh, kamu kelihatan cocok lho berjodoh sama si B, dan bla bla bla. . .

Selalu aku jawab, "aku belum pengen nikah. . ", sebenarnya sih membohongi diri sendiri.
Ingat! bukan karena aku belum move on dari luka masa lalu, sama sekali bukan. Fokusku bukan ke sana lagi, sama sekali bukan. 

Sebenarnya keinginan menikah sudah ada, tapi aku masih galau antara karir atau pernikahan. Lagi pula aku belum menjumpai orang yang benar-benar pas di hati. "Halah. . cinta ada karena terbiasa", kata mereka. Tapi tetap saja, harus ada getaran awal yang menunjukkan chemistry sebagai tanda bahwa akan ada cinta yang bersemi di kemudian hari. Aku benar-benar takut dengan kegagalan, dengan pernikhan yang karena belum siap lahir batin berubah jadi seperti bencana.

"Sudah siap menikah?". Lagi- lagi aku membohongi diriku sendiri, "belum pengen menikah". Aku ingin menabdikan diriku sebagai guru yang benar-benar berbakti untuk kepentingan bersama. Aku ingin membangun mimpi anak-anak didikku. Aku ingin merantau, mengabdi di sebuah tempat yang jauh dari rumahku dan mendapatkan kebahagiaan yang baru, keluarga baru, Lingkungan baru yang akan menuntun langkahku. Setidaknya itu yang ingin aku lakukan sebelum aku memutuskan untuk berkeluarga.

Akan tetapi pertanyaan yang sama hadir dalam pikiranku, "Bener, kamu belum ingin menikah? teman-temanmu sudah banyak yang menikah, udah mau punya anak juga. Atau paling tidak mereka sudah punya calon lho."- shitty question that always fly in my mind. Oh God, please!

"Kamu beneran mau ikut program SM-3T? syaratnya gak boleh menikah lho selama mengikuti program itu. Berarti masa jomblomu nambah, dong. Yakin??", pertanyaan temanku suatu ketika. Entahlah. . aku benar-benar ingin merasakan mengabdi jauh dari rumahku, merasakan pengalaman jauh dari keluargaku, sehingga aku bisa lebih menghargai arti dari sebuah kebersamaan.

Sekitar setahun yang aku, aku agak deket sama seorang pakistani (sebagai teman, jangan mikir macam-macam), dia mengenalkanku pada sepupu perempuannya, dari fotonya, dia amat cantik (Oh God, why are all pakistani girls beautiful???), mungkin dia lebih muda dari saya, namanya Hina. 
Kebetulan beberapa waktu kemudian, temanku itu sibuk dengan kuliahnya, tugas akhir di kampus, jadi kita lost contact gitu, Facebook-nya jarang on, whatsappnya juga non aktif lama banget.
Beberapa hari yang lalu, dia aktif lagi di sosmed, mbales WA yang aku kirim berbulan-bulan yang lalu (dasar ini anak -_- ).  Seringnya sih kita ngobrol tentang kebudayaan negara masing-masing, lalu aku mengirimkan foto Hina ke dia yang dulu dia kirimin ke aku, sambil aku kasih coment "By the way, I still save your sister's pict, she's so beautiful". Dia jawab, "I think you have deleted this pict, she's not my sister, she's my cousin. She got married". Agak kaget juga mendengar Hina sudah menikah, awalnya sebelum aku tau kalau dia seumuran aku, aku kira dia lebih muda dari aku, baru kemarin pas kita mbahas Hina, dia tanya ibuknya ternyata Hina seumuran sama aku.

Aku langsung memberondong dia dengan banyak pertanyaan, sebelumnya aku pernah dengar berita kalau di Pakistan itu masih membudaya yang namanya nikah paksa gitu. Aku tanya dia kapan Hina menikah? suaminya umur berapa? dan yang paling penting dan pertanyaan ini aku ulang beberapa kali, Hina bahagia gak dengan pernikahannya? (Okelah, nikah dengan perjodohan gak ada salahnya kalau kedua mempelai saling bahagia). Dia jawab, Hina sangat bahagia dan suaminya dua tahun lebih tua darinya. Lega sih mendengar berita itu. Gak tau kenapa, padahal dia bukan saudariku lho ya. Tapi benar-benar menyedihkan jika Hina si pemilik wajah cantik, imut, ayu, dan berjilbab itu sampai gak bahagia dengan pernikahannya. Dari raut wajahnya, dia adalah perempuan yang baik-baik. Aku ikut senang jika dia bahagia dengan pernikahannya. Selamat ya Hina, Barokallahu lakuma, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warohmah, pengen suatu saat bisa ketemu sama kamu.

Dan ujung-ujungnya dari pembahasan mengenai pernikahan Hina adalah, dia mengajukan pertanyaan mainstream, "Kapan kamu menikah?". (Ohh, please!). Saya jawab saja, mungkin kamu duluan yang harus menikah. Dia bilang, ayahnya juga sudah menginginkan dia buat menikah, mengingat umurnya juga dua tahun lebih tua dari aku, tapi katanya dia belum menemukan yang sesuai tipe dia (yang matanya lebar, mata belo gitu), katanya dia juga ingin berkarir dulu.

Hemm. . usiaku baru 20 tahun tapi kenapa aku harus menggalaukan tentang pernikahan? (soalnya temen-temenmu juga sudah pada nikah -_-)
Emang apa salahnya jika aku jomblo lebih lama? Lagi pula nikah kan bukan soal cepet-cepetan! (ntar kamu kesepian, yang lain jalan-jalan bareng pasangan, kamu jalan  bareng bayangan)
Apa aku cari pacar dulu ya? (Oemji hellooo. . ingat prinsip kamu, katanya gak mau pacaran? ingat ntar patah hati sakitnya tuh di siniiii)
--->> Ceritanya konflik batin permisa.

Baiklah, aku harus fokus ke satu sasaran. Bener sih kata temenku di awal cerita (yang dari negara sebelah), "Fokus jangan bercabang-cabang, ntar malah gagal semua, fokus pada satu tujuan, aku yakin kamu bisa!"

Tapi kan mereka laki-laki. . .nikah umur berapapun gak masalah, laki-laki semakin mapan semakin banyak disukai, beda sama perempuan -_- (ceritanya lagi debat sama pikiran)
Jadi kamu maunya gimana? udah nikah aja kalau gitu!!
-->> enggak, aku mau mengabdikan ilmuku dulu, pokoknya harus jadi orang yang bermanfaat buat orang lain dulu, insya Allah, Allah akan memberikan jalan, mantapkan niat dlu.

Nah, gitu dong, fokus pada satu sasaran dulu, jangan bercabang fokusnya.
I'm sure if you do your best, Allah will always guide you. Take a step and do strive!!
Everything gonna be alright.

^^Sekian cerita dari saya^^

Minggu, 19 April 2015

Muka Pasaran, Bawa Santai Aja

Haii. . udah lama sekali enggak corat-coret di blog nih :D

Kali ini saya akan bercerita mengenai efek muka pasaran kayak muka aku ini.
Well, setiap ada orang melihat saya secara "tidak wajar", pikiran saya itu gak macam-macam, saya cuma mikir, "Kira-kira siapa wajah kenalan dia yang mirip saya ya?"
*Aku mah orangnya gitu :P *

Yah. . udeh sering lah kayak gitu, orang lihat saya serius banget, ternyata muka saya mirip temannyalah, keponakannyalah, tantenya lah, bahkan bisa jadi musuhnya.

Aku jadi teringat peristiwa 2 tahun lalu waktu ikut Ramadhan Class di sebuah pesantren. Waktu itu ada mbak-mbak, sejak aku awal datang masuk kamar itu (kebetulan satu kamar, atau lebih tepatnya aula yang dijadikan kamar kali ya. . maklum siswanya banyak) dia serius banget lihatin aku. Yah, berhubung aku orangnya simple sih ya, gak aku pikir macem-macem, di bawa santai aja, palingan nanti juga baikan sendiri tu anak.
Beberapa hari telah berjalan, suatu sore di antrian kamar mandi yang begitu panjang, kita-kita ni biasanya antri mandi sambil ngobrol, nah. .  di situlah ketahuan deh. Si mbak tadi bilang, "Mbak, wajahmu mirip banget sama orang yang aku benci (glodaakkkk-batin saya), kalau lihat wajah kamu rasanya sebel banget. Tapi ternyata kamu orangnya baik mbak, gak kayak orang yang aku kenal itu."
*Ahihihi. . gue mah orangnya gitu, baik hati dan tidak sombong (et dahh) :P *

Yah. .  suka dukanya muka pasaran ya seperti itu lah, tapi aku bersyukur sama Allah, wajahku sempurna ada hidung satu, mata dua, bibir satu, lengkap. Alhamdulillaah. . biarpun pasaran yang penting maniss, hehehee :D